Baridin Jadi Idiot, Ratminah Jadi Kaku
GAIRAH berkarya seni, terkadang mentok karena masalah biaya dan pandang pikir produser. Karya seni yang bisa berlanjut dalam ekpresi, juga tidak sedikit yang ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan sang produser. Selain ditunggangi produser, seni juga terpaksa diperalat oleh para sponsor. Seniman yang idealis dan seniman yang keberadaannya tidak sesuai dengan pandang pikir produser (Tidak laku/dipandang jelek) bisa jadi akan kesulitaan mengekpresikan hasrat seninya.
Sebagian seniman bersedia bernegosiasi menyesuaikan idealisme berkarya dengan pesanan produser yang mengatasnamakan selera pasar/masyarakat dan bertemu jodoh bekerjasama dengan produser. Sebagian seniman juga mau bernegosiasi tapi tetap saja tidak ada yang mau membiayai mereka berkarya karena dipandang tidak komersil. Dulu, seniman yang idealis maunya berkarya tanpa tendensi titipan, jelas semakin sulit berkarya karena tentu terhalang biaya. Tapi, sekarang ini, keadaan itu sudah bergeser atau berubah. Sejumlah seniman memandirikan dirinya, mengeksplor segala potensi dirinya sehingga bisa tetap berkarya walaupun produser besar tidak menerima, walaupun tidak pernah dipandang sebelah mata, walaupun nyaris tidak punya biaya. Selain mandiri, sejumlah seniman juga sudah mulai bisa bersinergi dengan orang lain yang kompeten di bidang seni juga bidang bisnis sehingga mereka bisa berkarya. Sebutlah Rendy Reza, sang Arjuna Dangdut Pantura ini, luar biasa dalam semangat berkesenian. Dengan berbekal semangat itu, Rendy Reza dan kawan-kawannya bisa mewujudkan keinginannya main film. Lebih dari sekedar main film, mereka bisa mewarnai Indramayu dengan karya yang bisa ditonton sampai anak cucu nanti, dan bisa juga mengangkat kisah cinta yang tragis, kisah cinta yang sudah lekat di hati masyarakat pantura, Baridin dan Ratminah. Kehebatan semangat Rendy Reza dan kawan-kawannya, telah mampu membuat film indi, karena sementara seniman lain belum mampu melakukannya. Sebagai bara penyemangat agar karya ke depannya lebih bermutu, kepada Rendy Reza dan kawan-kawannya, saya mohon izin untuk mengkritisi film indi Baridin Ratminah, yang telah dipersembahkan untuk masyarakat Indonesia khususnya pantura, yang berarti telah menjadi milik masyarakat juga.
Cerita
Bila pertimbangannya pasar, penentuan dan pengambilan cerita Baridin Ratminah, adalah keputusan yang boleh dibilang tepat. Karena cerita ini adalah cerita klasik yang selalu disukai dari lintas generasi ke generasi. Cerita ini juga belum pernah dibuat film-nya. Film indi dengan cerita Baridin Ratminah akan mengundang penasaran masyarakat pantura untuk menyaksikannya/membeli vcd-nya. Pada sisi lain, mengambil cerita ini berarti mengambil tantangan yang sangat besar. Cerita ini sudah sangat identik dengan tarling. Baridin sudah sangat identik dengan Abdul Adjib. Ratminah juga sangat identik dengan Uun Kurniasih. Secara psikologis, sebagus apapun film indi Baridin Ratminah, jika terlalu jauh dari keidentikkan itu, film indi ini akan dinilai asing dan kehilangan ruhnya.
Bahasa
Menurut Rendy Reza, film ini menggunakan Bahasa Indonesia. Tapi, untuk menunjukkan setting lokalnya, digunakan juga Bahasa Indramayu. Konsepnya bagus, tapi implementasinya tidak seperti konsepnya. Akan lebih bermutu jika dalam urusan bahasa dilakukan ketentuan sebagai berikut; Pertama menggunakan Bahasa Indonesia tapi dialeknya Indramayu. Kedua sebagai identitas lokal hanya menggunakan beberapa kata Indramayu yang sangat khas misalnya kang, nok, mbok, kula, sampean, jeh, dan lain-lain. Ketiga, Bahasa Indramayu yang digunakan harus ajeg tidak dicampur bahasa lain karena kesannya akan berbeda. Misalnya kata non, nok, dan neng, walaupun artinya sama tapi menunjukkan perbedaan daerah asal si pembicara dan wanita yang dipanggil. Kata non itu Bahasa Indonesia asal kata nona, sedangkan neng itu Bahasa Sunda. Baridin itu Cirebon asli, terdengar aneh manakala Baridin memanggil Ratminah neng, mestinya nok.
Casting dan acting
Pasti tidak
mudah meng-casting pemain film indi
ini. Faktor kedekatan atau emosi menjadi kendala pertama. Sepertinya para
pemain dalam film indi ini adalah seniman daerah yang dekat dengan Rendy Reza.
Pada sisi lain, orang lain bisa jadi tidak mau ikut bermain dalam film indi ini
karena tidak ada bayarannya. Bolehlah itu dijadikan alasan untuk kemakluman.
Tapi kritik boleh juga tetap dilakukan, bukan? Rendy Reza secara fisik cukup
layak memerankan Baridin, kulitnya hitam seperti kebanyakan orang kampung,
wajahnya walaupun tidak terlalu ganteng tapi garis-garis wajahnya cukup nyeni,
cocok memerankan pemuda desa Baridin.
Nina Agustin, wajahnya cantik, tapi tidak nyeni. Maksud wajah nyeni
adalah wajahnya enak sedap dipandang jika sedang ber-acting, tapi kalau tidak
sedang ber-acting wajahnya biasa saja bahkan bsa jadi tidak menarik. Tokoh
lainnya, Mimi Ratinih terlalu muda dan gemuk untuk memerankan Mbok Wangsi.
Cuplis justru badannya terlalu gagah untuk memerankan Gemblung. Malah Emplud
Wartono yang mestinya bertukar peran dengan Wan Ganden. Intinya, ketepatan casting
pemain tidak tercapai. Kelemahan ini akan bisa diperbaiki bila kemampuan acting
para pemain mumpuni. Bagaimanakah acting Rendy Reza dan kawan-kawannya?
Bahasa tubuh
yang kaku, terlihat pada semua pemain. Lucu sekali tangan mereka harus selalu
bergerak ketika berbicara. Natural saja, karena dalam hidup keseharian, ketika
kita berbicara, tangan tidak selalu digerakkan. Baridin pemuda melarat tempo
dulu tidak punya jam tangan, tapi Rendy Reza mengatakan bangunnya kesiangan
sambil menunjuk lengan kirinya yang tidak berjam tangan. Baridin memang pemuda
kampung yang malas bekerja, tapi tidak idiot. Rendy Reza ber-acting terlalu
bloon sehingga sosok Baridin jadi idiot. Adegan paling idiot adalah manakala
Baridin ada di arena pagelaran sintren, dan adegan saat berbicara dengan Surti yang sedang
membersihkan beras.
Pemeran utama wanita, Nina Agustin justru paling kaku. Kenesnya Ratminah, Sombongnya Ratminah, dan gilanya Ratminah tidak bisa diwujudkan dalam permainannya. Saat-saat terakhir ketika bertemu dengan Baridin, acting-nya sama sekali tidak mengetarkan rasa. Buat Mimi Ratinih, ada catatan pujian. Adegan makannya bagus. Tapi adegan gilanya kacau, apalagi adegan melipat daunnya, parah. Masa penjual daun pisang profesional Mbok Wangsi, melipat daunnya asal-asalan? Harus rapih, pendalaman karakternya harus sampai sedetil itu.
Penata rias dan busana
Mimi Ratinih
yang terlalu muda memerankan Mbok Wangsi, sebetulnya bisa dibantu dengan make up karakter sehingga bisa namapak
tua sesuai dengan tuntutan cerita. Baridin yang berpuasa harus menjadi kurus
begitu juga dengan Ratminah yang gila. Tapi make up karakter tidak muncul.
Kalau hanya mencoreng-moreng wajah seperti orang gila, tanpa terlihat kuyu
dehidrasi, banyak orang yang bisa melakukannnya.
Busana yang
dipakai pemain semuanya sudah sesuai dengan perannya masing-masing. Catatannya,
rok terakhir Ratminah yang dipakai berhari-hari mencari Baridin, tidak terlihat
kucel dekil kotor saat adegan terakhir. Padahal akan lebih dramatis bila
bajunya jadi kucel, basah, bahkan sobek-sobek. Tapi itu tidak terlalu aneh
karena ada busana yang paling mengundang tanya justru kostumnya si sintren.
Kenapa tidak ada ronce-ronce pada
mahkota sintren? Sintren juga tidak memegang sapu tangan. Pakaian sintren tidak
seperti bidadari. Pakaian sintren itu sudah sangat familiar di mata masyarakat
pantura. Pakaian itu sudah menjadi merek yang tidak bisa sembarangan diganti.
Empat pertanyaan saja buat penata set, kenapa nameboard-nya ditulis Tari Topeng, tapi yang dipentaskan malah sintren? Kenapa jagung dijemur siang malam di genteng? Penata set lupa mengambilnya untuk adegan di waktu malam. Kenapa bakul cucian masih nampak kering? Mestinya bakul dibasahi agar tidak kelihatan bohongan. Yang terakhir, lain hari lain orang yang membawanya, tapi kojong-nya sama tidak diganti.
Penata musik
Kecuali saat pagelaran sintren, tidak muncul kekhasan musik daerah dan musik tarling. Film indi ini jadi terasa semakin jauh dengan Baridin Ratminah. Padahalsangat memungkinkan musik tarling klasik dijadikan ilustrasi musiknya.
Kameraman dan editing
Pada beberapa gambar, selera keindahan kameraman terlihat. Mungkin, karena terbatasnya jumlah kamera, adegan yang mestinya close up, tidak terekam. Film indi yang menurut Rendy Reza menghabiskan dana lima puluh juta rupiah ini, jika dinilai dari gambar yang dihasilkan jadi tidak jauh berbeda dengan visual vidio shooting amatiran pesta hajatan. Semestinya kelemahan pengambilan gambar akibat keterbatasan jumlah kamera itu bisa dibantu dengan editing yang bagus. Tapi justru sang editor banyak memunculkan gambar-gambar yang tidak penting bahkan tidak nyambung dengan cerita.
Sutradara
Tarmizi Azkab,
menurut Rendy Reza adalah sutradara dari Jakarta yang sering terlibat dalam
pembuatan film-film besar seperti Ayat-Ayat Cinta dan Hizrah Cinta. Jika memang
potensi Tarmizi sekaliber itu, kemungkinan Tarmizi kewalahan mengarahkan para
seniman daerah ber-acting. Kebanyakan seniman daerah Indramayu khususnya
seniman tarling sudah terpenjara oleh kebiasaan actingnya yang karatan tidak
progresif. Mungkin Tarmizi akan lebih berhasil mengarahkan anak-anak SMK atau
SMA yang awam acting tapi justru muddah diarahkan karena belum teracuni acting
yang salah. Sebetulnya ada juga terlihat kemauan Tarmizi mengarahkan mereka.
Tapi arahan itu dimentahkan oleh kemampuan acting yang kaku. Bisa jadi juga
acting yang kaku itu tidak bisa dibenahi lebih bagus lagi karena pembuatan film
ini hanya empat hari.
Semangat Rendy Reza dan kawan-kawan yang luar biasa. Kemauan berkarya mereka harus dihargai setinggi-tingginya. Kalaupun kemudian film ini mendapatkan kritikan, bukankah memang tidak ada karya manusia yang sempurna? Setidaknya manusia bisa berkarya sebaik-baiknya bukan yang sempurna. Kritikan ini juga tidak semata-mata untuk Rendy Reza dan kawan-kawan. Catatan buat penulis juga yang terlambat bertemu dan berdiskusi dengan Rendy Reza, catatan juga buat insan seni khususnya teathre di Indramayu yang mestinya bisa bersinergi dalam latihan acting sebelum shooting. Catatan juga untuk Disporabudpar dan segenap pamong budayanya yang selama ini luput memperhatikan seorang anak seni Indramayu bernama Rendy Reza, yang ternyata punya magma dalam berkesenian. Khusus buat Rendy Reza dan kawan-kawannya, ditunggu film-film berikutnya yang persiapannya matang sehingga hasilnya lebih optimal. (untung)
Komentar