Tarling tidak hanya merupakan fenomena kekinian, tetapi telah hadir sejak dekade akhir 1930-an, menjelma menjadi simbol seni asli dari wilayah kultural Dermayu-Cerbon. Fase pertama perkembangannya ditandai dengan penggunaan alat musik gitar yang diiringi dengan bunyi laras gamelan, menciptakan tembang-tembang klasik yang bernama 'kiser'. Musik tarling pada saat itu muncul dalam bentuk yang belum terdefinisikan namun sarat akan makna, seperti balada atau elegi, dengan lirik yang mendalam dan kadang kala sarat akan unsur sastra.
Perkembangan selanjutnya membawa tarling ke fase kedua pada dekade 1960-an, dengan munculnya lagu-lagu yang berteks dan tempo lagu yang agak cepat, dikenal sebagai 'kiser gancang'. Meskipun demikian, lagu klasik dan drama tetap menjadi bagian penting dari pertunjukan tarling.
Hingga masuk dekade 2000-an, tarling mengalami transformasi dengan penggunaan alat musik yang diringkas dalam satu organ saja. Namun, esensi musik tarling tetap terjaga dengan keberadaan tembang klasik, drama humor, dan drama keluarga yang tetap menjadi bagian integral dari pertunjukan tarling.
Di tengah perubahan zaman dan kebutuhan pasar, tarling tetap mempertahankan identitasnya sebagai seni asli dari wilayah Dermayu-Cerbon. Meskipun seringkali disalahpahami oleh orang awam atau mereka yang berada di luar lingkaran seni, tarling memiliki kedalaman yang menggugah dan makna yang mendalam bagi mereka yang memahaminya.
Sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia, musik tarling tidak hanya sekadar hiburan semata, tetapi juga merupakan cerminan dari kekayaan dan keberagaman budaya bangsa. Dengan memahami esensi sejati dari musik tarling, kita dapat lebih menghargai dan mengapresiasi keindahan dan kekayaan budaya Indonesia yang terus hidup dan berkembang hingga saat ini.(Rofi)
Komentar